Hari itu merupakan salah satu hari di pertengahan semester genap di tahun 2016. Euforia penonton pertandingan futsal antar kelas itu tidak mati meskipun matahari bersinar terik dengan sadisnya. Riuh lagu-lagu dukungan yang dikumandangkan para penonton membumbung tinggi di lapangan yang beratapkan langit tersebut. Menyenangkan kelihatannya, namun tidak bagi kami yang sedang berlaga, yang memijakkan kaki di atas lapangan paving dan berpayungkan langit cerah tengah hari. Dengan hanya tiga orang berlatar belakang atlit—yang mana dua dari tiga orang tersebut bahkan bukan atlit futsal, melainkan atlit hockey dan atlit taekwondo—kami sedikit kesulitan melawan para adik kelas yang secara fisik lebih besar dari kami semua. Teriknya matahari menguras energi kami dua kali lipat lebih cepat daripada bermain di lapangan yang tertutup. Tapi ya sudahlah, toh ini akan menjadi pertandingan terakhir kami, murid kelas 12 IPS 2, selama kami menapakkan kaki di sekolah ini.
Sayangnya skor kacamata bertahan hingga permainan selama lima belas menit itu berakhir, sehingga adu penalti harus dilakukan untuk menentukan siapa yang pantas untuk maju ke babak berikutnya. Atmosfer penonton di pinggir lapangan berubah. Tekanan semakin terasa bagi para pemain, bahkan mungkin terasa lebih berat bagi kapten timnya. Apalagi perempuan setinggi satu setengah meter itu pulalah yang dipilih sebagai algojo penalti yang terakhir—yang mungkin bakal menjadi penentu kemenangan tim mereka.
Kegagalan dari keempat algojo dari tiap tim membuat permainan siang hari itu semakin tegang dan panas. Entah akibat teralihkan oleh ributnya penonton di pinggir lapangan atau memang karena tekanan batin dari dalam timnya sendiri, penendang terakhir dari tim lawan gagal juga dalam mengeksekusi penalti. Secerca harapan bangkit lagi diantara gundah gulana pemain lawan. Semuanya berdoa denga tujuannya masing-masing. Lelaki berkulit hitam jangkung yang dipercaya sebagai pelatih kami pun menarik si penendang terakhir. Tendang ke arah pojok datar dengan tanah saja, instruksinya. Namun hati si penendang terakhir ini menolak, mereka mengatakan untuk menendang ke sudut bagian atas gawang.
Sampai detik terakhir saat ia menendang bola, ia masih bergulat dengan hatinya sendiri. Namun, "Pojok atas!" itulah kata terakhir yang melintas di benaknya sehingga ia refleks menendang ke arah tersebut. Untuk sesaat semua terdiam, kemudian sedetik berikutnya semua bersorak sorai dan berhamburan untuk memeluknya. Kiper yang menjadi lawannya sama sekali tidak memprediksi arah tersebut, sehingga bola dengan mudah masuk ke dalam gawang. Skor 1-0 pun menjadi akhir dari pertandingan di siang bolong itu.
Senyum sumringah dapat terlihat jelas di wajah pendukung kelas 12 IPS 2. Bagi si kapten, menonton raut wajah penuh kebahagiaan mereka dari dalam lapangan bahkan jauh lebih menyenangkan dibanding menyadari sendiri bahwa ia telah membawa timnya melaju ke babak berikutnya.
Terkadang akupun tersenyum sendiri mengingat dan membayangkan bahwa diriku sendirilah yang dulu berada di posisi tersebut. Menjadi seorang algojo penalti terakhir yang menyaksikan senyum bahagia karena timnya berhasil maju ke babak berikutnya, yang menonton sebuah kemenangan dari dalam lapangan.
No comments:
Post a Comment